Rabu, 30 November 2011

Tiga Masalah Petani Dieng


SUDAH sejak lama Dieng dikenal sebagai penghasil sayuran kualitas wahid. Berbagai komoditas, seperti kentang, kul, dan sawi dihasilkan dari daerah ini. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an produk sayur Dieng bahkan mampu menembus pasar impor, meski belakangan pamornya menurun.

Ada tiga permasalahan pokok yang dihadapi petai di Dieng belakangan ini. Masalah tersebut terkait dengan kondisi alam, fluktuasi harga, dan meningkatnya ongkos produksi. Ketiga hal tersebut menjadi permasalah komunal yang dialami hampir seluruh petani di sana.

Masalah pertama, kesuburan tanah Dieng menurun akibat penggunaan pupuk kimia dan tata kelola lahan. Penggunaan obat kimia yang tidak terkontrol membuat kesuburan tanah di daataran tinggi tersebut mulai terdegradasi. Kondisi ini dapat diamati dari penurunan produktivitas lahan. Lahan dengan luas 1 hektare dulu mampu menghasilkan 4 hingga 5 ton kentang, sednagkan sekarang hanya pada kisaran 3 ton.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan di daerah tersebut. Sejak tahun 1980-an terjadi eksploitasi lahan besar-besaran di Dieng. Hampir seluruh lahan di daerah tersebut ditanami kentang. Agar kentang dapat tumbuh dengan baik warga terpaksa menebang tanaman keras yang ada. Akibatnya Dieng tidak memiliki daerah resapan air karena seluruhnya dimanfaatkan sebagai lahan produksi.

Untuk mengembalikan kondisi tanah Dieng pada kondisi sebelumnya diperlukan proses panjang yang konsisten. Tanah-tanah yang peruntukannya mesti dikembalikan secara perlahan. Lahan-lahan yang tidak produktif sebagai lahan pertanian sebaiknya kembali ditanami tanaman keras sebagai daerah resapan.

Masalah kedua, fluktuasi harga komoditas pertanian juga sering memusingkan petani. Posisi tawar petani rendah karena komoditas mereka mudah busuk. Sayuran semacam kentang hanya bisa disimpan sekitar satu bulan, sedangkan kul hanya satu sampai dua minggu.


Fluktuasi harga juga dipengaruhi persaingan antar sesama produsen kentang, seperti petani Bandung dan Bogor. Bahkan beberapa tahun terakhir kantang impor juga bermain di pasar domestik. Tentu saja petani tak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Pemerintah mestinya mengatur kuota impor agar harga sayuran lokal dapat dipertahankan.

Masalah ketiga, petani Dieng seringkali terhambat permodalan, khususnya saat musim tanam. Besarnya biaya produksi membuat sebgaian petani terpaksa meminjam modal berbunga tinggi kepada tengkulak. Akibatnya, selain petani terbebani bunga pinjaman, proses produksi sering terhambat. Karena itulah petani Dieng berharap ada lembaga keuangan khusus yang membantu mereka mengakses modal berbunga.

"Masalah ketiga, petani Dieng seringkali terhambat permodalan, khususnya saat musim tanam"


Koperasi

Ketiga kepusingan di atas nyaris dialami oleh seluruh petani Dieng. Karena telah menjadi masalah bersama tentu saja perlu pemecahan bersama. Pemerintah daerah diharapkan bernisiatif membantu petani, termasuk dengan memfasilitasi petani mendirikan koperasi.

Koperasi dalam konteks ini harus dipahami sebagai badan usaha bersama yang memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat, tidak sekedar mencari keuntungan. Maka dalam pelaksanaannya koperasi harus mampu memfasiltasi seluruh anggota. Berbagai permasalah, seperti kelangkaan pupuk, fluktuasi harga, pemasaran, dan kendala permodalan harus diatasi melalui koperasi.

Ada beberapa tugas koperasi untuk mendukung aktivitas petani Dieng. Pertama, memberikan bantuan modal lunak tanpa agunan. Bantuan modal tersebut digunakan untuk biaya penanaman, termasuk penggarapan lahan, bibit, dan pupuk. Masa tanam adalah masa yang sangat memerlukan biaya paling besar, bisa mencapai 60 persen dari total biaya produksi. Para petani sering kesulitan mendapatkan modal awal karena hasil panen sebelumnya tidak cukup memenuhi biaya awal produksi.

Kedua, koperasi bertugas menjamin suplai pupuk. Dalam hal ini, koperasi bertugas memangkas jalur distribusi pupuk agar petani bisa mendapatkannya dengan mudah. Selama ini proses distribusi melalui distributor dan pengecer terlalu panjang hingga membuat harga jual melonjak. Bahkan jika terjadi kelangkaan, petani di Dieng kesulitan mendapatkan pupuk sehingga harus mendatangkannya dari daerah lain.

Jika koperasi bekerja sama dengan distributor langsung, atau difungsikan sebagai distributor, resiko kelangkaan pupuk bisa dikurangi. Selain itu, karena mata rantai distribusi menjadi pendek, harga jual pupuk dapat diminimalisasi.

Selanjutnya, tugas terakhir sekaligus paling menentukan, koperasi harus mampu menjamin harga jual kentang dan kul agar tidak anjlok di pasaran. Cara ini dapat ditempuh dengan mencari konsumen tetap sebagai pengguna produk pertanian Dieng di seluruh Indonesia, baik pasar, superarket, atau membuka akses ekspor produk tani.


Sejak puluhan tahun lalu kentang dan kul Dieng telah diperjualbelikan di kota-kota besar seperti Jakrta, Semarang, Cirebon, dan Serang. Namun karena distribusi dijalankan oleh orang per orang sering mengganggu stabilitas harga. Para tengkulak dan pedagang borongan sering mempermainkan harga sehingga petani dirugikan.

Permasalahan lain yang tak kalah penting bagi petani Dieng adalah menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat penggunaan obat-obatan kimia. Masalah ini harus mendapatkan pememcahan bersama dengan menjajaki perbagai kemungkinan solusi, seperti merubah pola dan periodisasi tanam. Kepentingan bersama semacam ini hanya dapat dirumuskan sulosinya melalui forum bersma semacam koperasi.

Sebagai badan usaha bersama, sudah mestinya koperasi merepresentasikan kepentingan seluruh anggotanya. Selain sebagai badan usaha, koperasi juga harus berperan ganda menjadi organisasi (paguyuban) petani. Dengan begitu petani memiliki bergaining position yang kuat saat melakukan tawar menawar dengan pihak lain, termasuk pemerintah dan badan usaha lain.

Surahmat, Dari Wacana Lokal Suara Merdeka, 05 Mei 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar